Gema suara takbir membangunkan kehidupan malam di desa itu. Orang-orang tengah sibuk mempersiapkan suatu adat istiadat yang sejak dulu telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Pak saminto, penjaga desa itu mendapat giliran dari pak RT untuk mencari kambing, sapi dan kerbau untuk dijadikan hewan qurban. Besoknya Pak Saminto pagi-pagi buta sudah berada di dalam pasar hewan. Disitu banyak sekali bermacam-macam hewan yang siap untuk di jadikan qurban. Terlihat kambing yang di cancang pada sebuah bambu yang di tancapkan di tanah, di tempat lain di ujung jalan pasar, terlihat pula kumpulan sapi dan kerbau yang baru saja diturunkan dari doplak. Gemuk-gemuk sapi dan kerbau itu. Pak Saminto kemudian memilih kambing dan membeli tiga ekor kambing. Semuanya jantan. Dua berwarna putih dan satu berwarna hitam. Kemudian Pak Saminto beralih ke tempat sapi dan kerbau dengan menggandeng ketiga kambing itu memakai tali. Tak butuh waktu lama, Pak Saminto langsung membeli dua ekor sapi dan satu ekor kerbau. Menjelang malam Pak Saminto kembali ke desa dengan membawa tiga ekor kambing, dua ekor sapi, dan satu ekor kerbau. Keenam hewan tersebut diletakkan di sebelah masjid. Pak Saminto sendiri yang menjaga dan memberikan makan hewan-hewan itu. Rasa lelah membuat Pak Saminto pun merasa ngantuk dan perlahan Pak Saminto membaringkan tubuhnya di emperan masjid sambil menutupkan sarungnya keseluruh badan. Berharap dingin tidak menyelimutinya.
Suara kerumunan orang kini telah hilang. Suara lelucon orang di tempat siskampling pun telah berlalu. Keadaan desa itu sunyi senyap yang ada hanya suara hewan-hewan yang besok akan di qurbankan.
“ mbek ... mbek .. mbek ... “
“ mbek ... mbek .. mbek ... “
“ ngok ... ngok ... ngok ... “
seekor burung hantu tiba-tiba saja telah bertengger di ranting pohon di atas kumpulan hewan tadi. Entah dari arah mana ia datang..
“ Alangkah malangnya nasib kalian-kalian ini, maut telah menunggu kalian besok ”. Burung hantu memulai pembicaraan.
“ Enak saja kau burung hantu, baru datang kamu sudah mengusik ketenangan kami. Apa yang kau inginkan , kau tidak tahu apa yang tengah kami lakukan saat ini ”. Salah satu kambing menyela omongan burung hantu.
“ Aku tahu yang tengah kalian lakukan. Kalian pasti tengah berdoa memohon ampun kepada pencipta kalian akan dosa-dosa yang telah kalian perbuat selama ini kepada pemelihara kalian. Atau jangan-jangan kalian merasa takut menghadapi hari esok ?”.
“ Takut ?, kami tidak takut sama sekali, pasti yang selanjutnya akan kau katakan kepada kami adalah kalau ini adalah malam terakhir kami, dan besok kami akan mati di ujung pisau sang penjagal hewan “. Jelas kerbau sambil mengunyah-nguyah makanannya.
“ Hahahahaha ... kalian ini aneh. Kalian tahu besok kalian ini akan mati, tapi tak nampak sedikit pun rasa kekhawatiran pada diri kalian. Seakan-akan besok lamanya ratusan tahun sehingga maut telah jauh dari kalian”. Ungkap burung hantu menanggapi.
“ Untuk apa dipikirkan. Lihatlah, hidungku telah diberi tali dan tali itu telah diikat di pohon besar ini. Aku tidak bisa kemana-mana”. Jawab sapi pasrah.
“ Lebih baik kau pergi saja, jangan menambah gangguan pada kami. Dari tadi omonganmu membuat kupingku gatal. Aku bosan dengar ocehanmu. Semoga orang-orang tidak menangkapmu dan mengurungmu di sangkar, untuk dijadikan hiasan di sudut rumah mereka.” Usir kerbau.
“ Huh kalian ini, ingat besok kalian ini akan mati bersiaplah hadapi kenyataan itu. Selamat tinggal kawan. Sampai jumpa lagi,. Itupun kalau kalian di beri umur panjang”. Lantas burung hantu pun terbang masuk ke dalam celah pohon yang begitu gelap.
Malam kembali hening setelah kepergian burung hantu. Tak ada lagi suara-suara bising selain bunyi jangkrik yang tengah mengerik-erik di celah-celah rumah penduduk desa.
“ Hai kawan, apa yang sekiranya tengah kau pikirkan malam ini?”. Kambing hitam memulai pembicaraan sekenanya.
“ Aku memikirkan pemilikku “. Kerbau bergumam.
“ Ada apa dengan pemilikmu, siapakah dia?”.
“ Dulu, aku adalah pemilik lelaki tua yang tinggal di sebelah bukit di seberang sana. Lelaki tua itu selalu merawatku dengan baik serta selalu memberikanku makan tiap waktunya. Dan aku juga kerap kali merelakan tenagaku untuk membajak sawahnya. Karena kupikir hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membalas jasa lelaki tua itu. Setiap sore juga aku selalu meluangkan istirahatku bersama anaknya, namanya Loni. Menunggu senja adalah hal yang paling biasa kami lakukan. Di temani alunan seruling Loni yang terkadang membuatku tertidur pulas. Ku relakan juga tubuhku menjad tempat sandaran Loni. Seperti kawan dia bagiku. Tapi hanya 10 tahun aku dapat merasakan kekeluargaan dengan mereka”.
“ Lalu kenapa kau ada di tempat ini, tidak bersama mereka”. Kambing hitam penasaran.
“ Pengorbanan “. Jawab kerbau singkat.
“ Pengorbanan, seperti apa maksudmu?”.
“ Sewaktu kami dalam perjalanan pulang ke rumah setelah melihat senja di sawah, hujan lebat telah mengguyur kami. Kami pun berteduh di bawah pohon randu. Aku pikir hujan itu akan sebentar, ternyata tidak, sampai tengah malam hujan itu baru berhenti. Ku lihat Loni di sebelahku menggigil kedinginan. Aku tahu, tubuh siapakah yang mampu bertahan dalam dinginnya air hujan sampai waktu yang lama, apa lagi tubuh Loni. Aku khawatir terjadi sesuatu dengannya. Tapi apa yang bisa aku perbuat. Aku tak punya tangan untuk mengangkatnya. Aku juga tak punya suara yang bisa di terjemahkan oleh manusia. Tiba-tiba saja tubuh Loni tersungkur di tanah. Aku panik. Aku meng-ngok sekerasku, tapi tak ada seorang pun yang datang. Lantas ku sungkurkan juga tubuhku dan berusaha mengangkat tubuh Loni dengan tubuhku. Di tengah malam dan di tengah hujan aku melangkah dengan tertatih-tatih menggendong Loni menuju kerumah. Sesampainya di rumah ternyata Loni harus di bawa ke rumah sakit karena sakitnya sudah terlalu parah dan Loni membutuhkan biaya yang tidak murah, sehingga dengan berat hati pemilikku menjualku untuk membiayai pengobatan Loni. Sampai saat itulah aku tidak tahu lagi kabar tentang mereka, karena aku telah berpindah pemilik. Tepatnya satu bulan kemudian sempat ku dengar kabar dari burung peliharaan Loni, kalau Loni tidak terselamatkan. Hujan telah merenggut nyawanya”. Seketika keluar butiran-butiran kristal dari mata kerbau. Mengalir dan menetes ke tanah yang dipijakinya.
“ Aku turut bersedih wahai kerbau”
Bulan menampakkan cahayanya, mengintip dari sela-sela gumpalan awan hitam di langit mereka. Satu persatu bintang pun jatuh. Melesat ke bawah dan hilang. Tiba-tiba dari arah rumah penduduk desa terdengar kaki kecil melangkah menuju ke arah mereka. Suara itu semakin dekat.
“ Kenapa malam-malam seperti ini kau sudah bangun hai kawan, belum saatnya kau bangun. Lihatlah, bulan masih berdiri di atas kepala kami. Senja pagi masih lama untuk kau tunggu kemunculannya” Ujar sapi kaget.
“ Beg ... beg ... beg ... , memang ini saatnya aku bangun. Aku harus bersiap-siap sebelum senja pagi datang. Aku tidak mau gara-gara aku, aktifitas manusia jadi terlambat. Aku harus membangunkan mereka tepat ketika senja pagi mulai menampakkan dirinya”. Ujar ayam
“ Jadi kapan kau akan berkokok”.
“ Sebentar lagi “
“ Itu berarti waktu kita telah dekat, ajal telah menanti kita beberapa jam lagi ”
“ Apa?, mengapa cepat sekali malam ini. Aku masih ingin mendengarkan cerita kalian satu persatu sebelum kematian menjemputku”. Ujar Kambing hitam ketakutan
“ Sudahlah kambing kita pasrah saja. Ini sudah takdir kita untuk mati besok, menjadi makanan manusia”. Ungkap sapi
“ Iya kambing hitam, kita itu sama. Alangkah lebih baiknya kita berdoa saja semoga pisau sang penjagal langsung menebas leher kita . Biar kita tidak merasakan sakit yang berkepanjangan”. Kambing putih satunya mengamini.
***
Kukuruyuk ... kukuruyuk ...
Kukuruyuk ... kukuruyuk ..
Gema takbir kembali memecahkan keheningan di senja pagi. Orang-orang mulai berdatangan ke masjid untuk melaksanakan sholat Idul Adha. Sedang para hewan tengah berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kenyataan ini. Kenyataan bahwa sebentar lagi mereka akan mati, beberapa menit lagi ajal akan menjemput mereka. Sholat idul adha pun telah usai. Orang-orang yang sehabis dari rumah langsung berkumpul kembali di halaman masjid untuk menyaksikan penyembelihan hewan qurban. Sang penjagal terlihat sibuk mengasah pisau yang biasa ia gunakan untuk menyembelih hewan-hewan qurban. Giliran pertama adalah kerbau, karena kerbau paling sulit di taklukkan diantara hewan qurban lainnya di desa itu. Dengan di bantu lima orang, kerbau pun di pisahkan dari kumpulannya dan di bawa ke pojok masjid. Tubuh kerbau di jatuhkan, daun pisang di tutupkan di leher kerbau agar darahnya tidak mengucur kemana-mana. Mata kerbau tak henti-hentinya melihat teman-temannya. Mereka saling bertatap-tatapan, tampak kesedihan di wajah mereka melihat temannya, kerbau tengah menghadapi kematiannya. Sekali lagi dan untuk terakhir kalinya butiran-butiran kristal keluar dari mata kerbau., “Loni”.. nama yang sempat di sebut si kerbau di detik-detik kematiannya. Kini giliran hewan-hewan lainnya menyusul si kerbau. Dengan diiringi suara takbir berulang-ulang suasana pun tampak dramatis. Di balik pohon mahoni, di bagian paling dalam dan gelap, terlihat sepasang mata tengah menjadi saksi kematian teman-temannya.
Emperan rumah 12 Desember 2009
Note: Masih menunggu dimuat di majalah.
Suara kerumunan orang kini telah hilang. Suara lelucon orang di tempat siskampling pun telah berlalu. Keadaan desa itu sunyi senyap yang ada hanya suara hewan-hewan yang besok akan di qurbankan.
“ mbek ... mbek .. mbek ... “
“ mbek ... mbek .. mbek ... “
“ ngok ... ngok ... ngok ... “
seekor burung hantu tiba-tiba saja telah bertengger di ranting pohon di atas kumpulan hewan tadi. Entah dari arah mana ia datang..
“ Alangkah malangnya nasib kalian-kalian ini, maut telah menunggu kalian besok ”. Burung hantu memulai pembicaraan.
“ Enak saja kau burung hantu, baru datang kamu sudah mengusik ketenangan kami. Apa yang kau inginkan , kau tidak tahu apa yang tengah kami lakukan saat ini ”. Salah satu kambing menyela omongan burung hantu.
“ Aku tahu yang tengah kalian lakukan. Kalian pasti tengah berdoa memohon ampun kepada pencipta kalian akan dosa-dosa yang telah kalian perbuat selama ini kepada pemelihara kalian. Atau jangan-jangan kalian merasa takut menghadapi hari esok ?”.
“ Takut ?, kami tidak takut sama sekali, pasti yang selanjutnya akan kau katakan kepada kami adalah kalau ini adalah malam terakhir kami, dan besok kami akan mati di ujung pisau sang penjagal hewan “. Jelas kerbau sambil mengunyah-nguyah makanannya.
“ Hahahahaha ... kalian ini aneh. Kalian tahu besok kalian ini akan mati, tapi tak nampak sedikit pun rasa kekhawatiran pada diri kalian. Seakan-akan besok lamanya ratusan tahun sehingga maut telah jauh dari kalian”. Ungkap burung hantu menanggapi.
“ Untuk apa dipikirkan. Lihatlah, hidungku telah diberi tali dan tali itu telah diikat di pohon besar ini. Aku tidak bisa kemana-mana”. Jawab sapi pasrah.
“ Lebih baik kau pergi saja, jangan menambah gangguan pada kami. Dari tadi omonganmu membuat kupingku gatal. Aku bosan dengar ocehanmu. Semoga orang-orang tidak menangkapmu dan mengurungmu di sangkar, untuk dijadikan hiasan di sudut rumah mereka.” Usir kerbau.
“ Huh kalian ini, ingat besok kalian ini akan mati bersiaplah hadapi kenyataan itu. Selamat tinggal kawan. Sampai jumpa lagi,. Itupun kalau kalian di beri umur panjang”. Lantas burung hantu pun terbang masuk ke dalam celah pohon yang begitu gelap.
Malam kembali hening setelah kepergian burung hantu. Tak ada lagi suara-suara bising selain bunyi jangkrik yang tengah mengerik-erik di celah-celah rumah penduduk desa.
“ Hai kawan, apa yang sekiranya tengah kau pikirkan malam ini?”. Kambing hitam memulai pembicaraan sekenanya.
“ Aku memikirkan pemilikku “. Kerbau bergumam.
“ Ada apa dengan pemilikmu, siapakah dia?”.
“ Dulu, aku adalah pemilik lelaki tua yang tinggal di sebelah bukit di seberang sana. Lelaki tua itu selalu merawatku dengan baik serta selalu memberikanku makan tiap waktunya. Dan aku juga kerap kali merelakan tenagaku untuk membajak sawahnya. Karena kupikir hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membalas jasa lelaki tua itu. Setiap sore juga aku selalu meluangkan istirahatku bersama anaknya, namanya Loni. Menunggu senja adalah hal yang paling biasa kami lakukan. Di temani alunan seruling Loni yang terkadang membuatku tertidur pulas. Ku relakan juga tubuhku menjad tempat sandaran Loni. Seperti kawan dia bagiku. Tapi hanya 10 tahun aku dapat merasakan kekeluargaan dengan mereka”.
“ Lalu kenapa kau ada di tempat ini, tidak bersama mereka”. Kambing hitam penasaran.
“ Pengorbanan “. Jawab kerbau singkat.
“ Pengorbanan, seperti apa maksudmu?”.
“ Sewaktu kami dalam perjalanan pulang ke rumah setelah melihat senja di sawah, hujan lebat telah mengguyur kami. Kami pun berteduh di bawah pohon randu. Aku pikir hujan itu akan sebentar, ternyata tidak, sampai tengah malam hujan itu baru berhenti. Ku lihat Loni di sebelahku menggigil kedinginan. Aku tahu, tubuh siapakah yang mampu bertahan dalam dinginnya air hujan sampai waktu yang lama, apa lagi tubuh Loni. Aku khawatir terjadi sesuatu dengannya. Tapi apa yang bisa aku perbuat. Aku tak punya tangan untuk mengangkatnya. Aku juga tak punya suara yang bisa di terjemahkan oleh manusia. Tiba-tiba saja tubuh Loni tersungkur di tanah. Aku panik. Aku meng-ngok sekerasku, tapi tak ada seorang pun yang datang. Lantas ku sungkurkan juga tubuhku dan berusaha mengangkat tubuh Loni dengan tubuhku. Di tengah malam dan di tengah hujan aku melangkah dengan tertatih-tatih menggendong Loni menuju kerumah. Sesampainya di rumah ternyata Loni harus di bawa ke rumah sakit karena sakitnya sudah terlalu parah dan Loni membutuhkan biaya yang tidak murah, sehingga dengan berat hati pemilikku menjualku untuk membiayai pengobatan Loni. Sampai saat itulah aku tidak tahu lagi kabar tentang mereka, karena aku telah berpindah pemilik. Tepatnya satu bulan kemudian sempat ku dengar kabar dari burung peliharaan Loni, kalau Loni tidak terselamatkan. Hujan telah merenggut nyawanya”. Seketika keluar butiran-butiran kristal dari mata kerbau. Mengalir dan menetes ke tanah yang dipijakinya.
“ Aku turut bersedih wahai kerbau”
Bulan menampakkan cahayanya, mengintip dari sela-sela gumpalan awan hitam di langit mereka. Satu persatu bintang pun jatuh. Melesat ke bawah dan hilang. Tiba-tiba dari arah rumah penduduk desa terdengar kaki kecil melangkah menuju ke arah mereka. Suara itu semakin dekat.
“ Kenapa malam-malam seperti ini kau sudah bangun hai kawan, belum saatnya kau bangun. Lihatlah, bulan masih berdiri di atas kepala kami. Senja pagi masih lama untuk kau tunggu kemunculannya” Ujar sapi kaget.
“ Beg ... beg ... beg ... , memang ini saatnya aku bangun. Aku harus bersiap-siap sebelum senja pagi datang. Aku tidak mau gara-gara aku, aktifitas manusia jadi terlambat. Aku harus membangunkan mereka tepat ketika senja pagi mulai menampakkan dirinya”. Ujar ayam
“ Jadi kapan kau akan berkokok”.
“ Sebentar lagi “
“ Itu berarti waktu kita telah dekat, ajal telah menanti kita beberapa jam lagi ”
“ Apa?, mengapa cepat sekali malam ini. Aku masih ingin mendengarkan cerita kalian satu persatu sebelum kematian menjemputku”. Ujar Kambing hitam ketakutan
“ Sudahlah kambing kita pasrah saja. Ini sudah takdir kita untuk mati besok, menjadi makanan manusia”. Ungkap sapi
“ Iya kambing hitam, kita itu sama. Alangkah lebih baiknya kita berdoa saja semoga pisau sang penjagal langsung menebas leher kita . Biar kita tidak merasakan sakit yang berkepanjangan”. Kambing putih satunya mengamini.
***
Kukuruyuk ... kukuruyuk ...
Kukuruyuk ... kukuruyuk ..
Gema takbir kembali memecahkan keheningan di senja pagi. Orang-orang mulai berdatangan ke masjid untuk melaksanakan sholat Idul Adha. Sedang para hewan tengah berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kenyataan ini. Kenyataan bahwa sebentar lagi mereka akan mati, beberapa menit lagi ajal akan menjemput mereka. Sholat idul adha pun telah usai. Orang-orang yang sehabis dari rumah langsung berkumpul kembali di halaman masjid untuk menyaksikan penyembelihan hewan qurban. Sang penjagal terlihat sibuk mengasah pisau yang biasa ia gunakan untuk menyembelih hewan-hewan qurban. Giliran pertama adalah kerbau, karena kerbau paling sulit di taklukkan diantara hewan qurban lainnya di desa itu. Dengan di bantu lima orang, kerbau pun di pisahkan dari kumpulannya dan di bawa ke pojok masjid. Tubuh kerbau di jatuhkan, daun pisang di tutupkan di leher kerbau agar darahnya tidak mengucur kemana-mana. Mata kerbau tak henti-hentinya melihat teman-temannya. Mereka saling bertatap-tatapan, tampak kesedihan di wajah mereka melihat temannya, kerbau tengah menghadapi kematiannya. Sekali lagi dan untuk terakhir kalinya butiran-butiran kristal keluar dari mata kerbau., “Loni”.. nama yang sempat di sebut si kerbau di detik-detik kematiannya. Kini giliran hewan-hewan lainnya menyusul si kerbau. Dengan diiringi suara takbir berulang-ulang suasana pun tampak dramatis. Di balik pohon mahoni, di bagian paling dalam dan gelap, terlihat sepasang mata tengah menjadi saksi kematian teman-temannya.
Emperan rumah 12 Desember 2009
Note: Masih menunggu dimuat di majalah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Jejak